[Two Shoots] Beautiful Wound 1/2

yudit

Author : Missellyot

Length : Two Shoots

Genre : Friendship, Romance

Main Cast : Goo Junhoe {WIN Team B}, Kwon Jikyong {OC}, Kim Jooeun {OC}, Kwon Jiyoung {Big Bang}, Song Mino {Winner}

***

Hello, readers. Ini FF bikinan temen author yang sama tergila-gilanya kayak author ke WIN Team B. Ini FF pertamanya dia, mohon komen dan masukkannya ya readers sekalian. Gomawo~ Saranghae~

***

“Sudahlah, jangan kau tangisi lagi pria itu.” Ku belai canggung rambut coklat sahabat baikku yang saat ini sedang terisak di sampingku. Jujur saja, walaupun aku sangat dekat dengannya, bahkan bisa dibilang kami ini seperti saudara kandung, aku masih saja tidak tau harus berbuat apa saat dia menangis padaku seperti saat ini. Dan lagi-lagi karena pria itu. Pria yang sangat dicintainya tapi tak pernah membalas cintanya.

What should I do, Jin Kyong?” Masih terisak, Joo Eun memulai ceritanya.” Aku tidak bisa melupakannya.”

Aku mendengus pelan menahan emosiku. Terkadang aku dibuat emosi olehnya. Bukan karena ia menyebalkan. Tapi aku sangat menyesali sikapnya. Dia itu cantik, pintar, dan punya segalanya. Tapi kenapa ia masih mau terperangkap oleh cintanya yang menurutku hanya membuatnya tersiksa?

“Tidak. Bukan tidak bisa. Tapi hanya belum. Kau pasti bisa.” Ku cengram tangan Joon Eun meyakinkannya.

***

Tiga tahun berlalu semenjak Joo Eun, sahabatku, menangis sejadi-jadinya untuk pria bernama Mino, Song Mino. Ya, Mino adalah pria yang sangat dicintai Joo Eun, sahabatku. Joo Eun menyukai Mino semenjak kami duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, kami bertiga berteman baik. Sampai pada saat Mino mengetahui perasaan Joo Eun padanya, segalanya  menjadi berubah.

Aku berjalan melalui koridor kampus dengan lemas. Dua kali presentasi sangat menguras energi dan otakku. Sial sekali. Hari ini aku memang kurang beruntung. Tapi tak apa pikirku. Karena setidaknya aku sudah tidak ada hutang presentasi lagi.

“Ya! Jin Kyong!” Ku dengar seseorang memanggil namaku. Aku menoleh kebelakang dengan gerakan cepat.

Ku lihat pria bertubuh jangkung berlari kecil mendekati ku. Kulitnya putih dan dia menggunakan topi berwarna hitam yang dibalik. Dia mengacungkan jari telunjuknya padaku seolah ingin berkata “diam disitu karena aku akan menghampirimu”. Aku tersenyum padanya dan setuju untuk menunggunya. Terlihat pria itu menggulung lengan kemejanya sambil setengah berlari dan membuat tattoo berbentuk seperti huruf-huruf Yunani yang ada dipergelangan tangan kirinya terlihat jelas.

“Kau sedang memikirkan apa, huh?” Nafasnya memburu dan terlihat pelipisnya berpeluh. “Apa kau tau berapa kali aku memanggilmu?”

“Oh, mian.” Hanya itu yang bisa ku ucapkan begitu sosok Joon Hwae berada di depan mataku. Irama degup jantungku mulai terdengar tidak normal. Ah, kenapa ia datang disaat yang tidak tepat? Gerutuku dalam hati.

“Kau mau makan? Aku ingin mentraktirmu.” Tanpa basa-basi Joon Hwae meraih pergelangan tanganku dan menarik tubuhku yang lebih kecil dua kali lipat darinya.

Jujur saja, aku sangat senang Joon Hwae mengajakku makan saat ini. Tapi aku bingung. Setengah hatiku ingin sekali pergi bersamanya. Setengah hati lagi, aku enggan melakukannya karena aku tau ini akan melukai hati lainnya……..

***

One year ago.

Aku mengendarai motor matic putih kesayangannku dengan santai. Masih 30 menit lagi sebelum kelas benar-benar dimulai. Memang pagi ini aku putuskan untuk berangkat lebih awal karena aku ingin menikmati perjalananku menuju kampus. Ku edarkan pandanganku sepanjang jalan dengan tetap waspada tentunya. Aku melihat banyak anak sekolah di pinggiran jalan yang pastinya mereka akan pergi menuju sekolahnya. Terlihat beberapa dari mereka masih di antarkan eommanya. Lalu tidak jauh dari segerombolan anak-anak sekolah, terlihat satu bangunan yang menarik perhatianku.

“Ooh, ada café baru.” Aku bergumam sendiri. Tanpa sadar ku sunggingkan sebuah senyuman. Baguslah jika ada café baru. Aku sudah bosan dengan kota ini. Kota yang sempit membuat masyarakatnya bingung akan menghabiskan waktu kosongnya di mana karena sudah tidak ada tempat untuk dikunjungi lagi. Satu alasannya, bosan!

Ku alihkan lagi pandanganku menuju jalan aspal yang sedang ku lewati khawatir fokusku hilang dan aku akan menabrak sesuatu di depanku. Setelah merasa aman, lagi, ku alihkan pandanganku ke arah pinggir jalan. Kali ini ke sebalah kiri. Aku melihat seorang lelaki bertubuh jangkung, berkulit putih, menggunakan baju serba hitam dan topi yang juga berwana hitam yang dipakainya terbalik ala anak hip hop berdiri di samping motor sport berwarna hitam dan putih yang tampaknya adalah miliknya sendiri. Laki-laki itu terlihat tidak baik-baik. Maksudku, dia terlihat sedang emosi. Ya, dia marah-marah sendiri tanpa ada lawan bicara dan kakinya terus menendang pada ban sepeda motor miliknya sambil terus mengumpat.

Kasihan. Itu kata-kata yang terlintas dalam otakku sekarang ini. Tapi, aku terlalu malas untuk membantunya. Bukannya aku enggan untuk menolongnya, tapi karena melihat dia marah-marah sendiri dan bukannya berusaha untuk melihat apa penyebab motornya rewel. Aku malas berurusan dengannya. Aku tidak mau merusak moodku pagi ini. Tapi……..

“Hey, butuh tumpangan?”

***

“Ya! Goo Joonhwae!” teriakku tidak sabar. Lalu kutepuk tangannya yang masih mencengkram pergelangan tanganku. Sepertinya sia-sia. Tepukanku sama sekali tidak membuat tangannya berhenti mencengkram tanganku. Akhirnya aku pasrah dan mengikuti ke mana ia akan membawaku.

“Oke! Kau pilihlah makananmu sendiri. Tidak perlu khawatir karena aku yang akan membayarnya.” Dengan muka innocentnya, pria yang sudah ku kenal semenjak satu tahun lalu ini sedang mencoba berbuat baik padaku rupanya.

Aku hanya menganggukkann kepalaku tanda mengerti dan mulai membuka daftar menu makanan yang ada di bawakan oleh pelayan. Wajahku sumringah seketika ketika menemukan menu pasta dalam daftar menu. Seketika ku arahkan telunjukku padanya.

“Aku mau ini. Pasta!” Ku sunggingkan senyum pada pelayan perempuan di sampingku. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menulis pada note kecil yang sedari tadi ia pegang.

Joon Hwae terlihat masih serius memilih menu makan. Manik mata hitamnya terlihat bergerak liar memperhatikan setiap huruf yang terpampang dalam daftar menu. Beberapa detik kemudian, dia telah menjatuhkan pilihannya pada menu sushi tuna. Sama halnya saat aku memesan pasta, pelayan wanita itu langsung mencatatnya dan setelah kami memutuskan minuman kami, pelayan itu langsung pergi dari hadapan kami.

Kini hanya ada aku dan Joon Hwae. Aku berusaha bersikap setenang mungkin walaupun sebenarnya aku sedikit nervous. Mata elang Joon Hwae memang selalu berhasil membuatku meleleh. Belum lagi jika ia tersenyum. Rasanya aku ingin pingsan saat itu juga.

“Jin Kyong, apa kau suka menari?Ku dengar dari Joo Eun kau itu sangat berbakat dalam hal menari. Benarkah itu?” Mata Joon Hwae kini terfokus padaku dan kedua tangannya menyangga pipinya yang terlihat sedikit chubby.

“Ah, dasar comel sekali Joo Eun.” Aku menggerutu sendiri. Ketika aku menyadari Joon Hwae melihatku dengan expresi yang serius, aku jadi canggung dan berusaha tertawa kecil untuk menghilangkan rasa gugupku.

“Ya. Tapi tidak sehebat yang kau pikirkan.” Lagi-lagi aku tertawa yang lebih tepatnya tertawa dengan terpaksa.

Jooh Hwae hanya mengangguk kecil beberapa kali saat mendengar jawabanku. Dilipatnya kedua tangannya di depan dada.

“Aku suka wanita yang bisa menari. Kau tau? Aku juga seorang penari dari kecil.” Joon Hwae tersenyum.

***

“Kau benar-benar sangat berbakat, Kyong-ah.” Wajah ceria Joo Eun membuatku tersenyum lepas setelah ketegangan yang kurasakan beberapa belas menit yang lalu. “Aku benar-benar tidak menyangka 3 tahun membuatmu semakin lihai menari. Gerakanmu itu sungguh indah tapi tegas. Aku iri padamu.” Kali ini ia meruncingkan mulutnya yang berwarna pink, membuatnya terlihat menggemaskan. Mungkin jika aku ini seorang pria, aku akan menyukainya. Bodoh sekali Song Mino menyia-nyiakan Joo Eun.

“Apa yang kau irikan dariku, huh?” Aku tertawa padanya lalu pandanganku beralih pada tas ransel berwarna merah marun milikku yang tergeletak dilantai. Satu persatu, ku masukkan barang-barangku ke dalam tas. Pentas malam ini cukup membuatku lelah.

Sudah dua tahun terakhir ini aku bergabung dalam sebuah klub drama  musikal. Tapi di klub ini aku hanya sebagai penarinya saja. Bukan berakting, karena aktingku sungguh sangat menggelikan. Jadi, aku lebih memilih untuk menjadi penari.

“Jelas aku sangat iri padamu.” Kini ia memajukan tubuhnya padaku dan matanya menatapku lurus seolah ingin memberi tahuku sesuatu. “Kau ingin tau kenapa aku iri padamu?”

Baiklah, kini aku mengalihkan pandanganku dari tasku dan aku memperhatikannya. Jika aku tidak melakukannya, maka ia akan merengek minta diperhatikan.

“Aku iri padamu yang jago menari karena Joon Hwae…” Joo Eun menggantungkan kalimatnya dan karenanya secara reflek aku membulatkan mataku yang sipit.

“Maksudmu?” Aku meminta penjelasan dari Joo Eun walaupun sebenarnya aku sudah menduga jawabannya sebelum ia menjawabnya.

“Yah, kau tau sendiri kan. Aku, maksudku, aku merasa hatiku berdegup saat bersama Joon Hwae.” Joo Eun berkata sangat hati-hati dan suara yang lirih. “Kau tau kan maksudku?” Joo Eun melihat mukaku ingin memastikan apakah aku tau maksudnya.

“Lalu?” tanyaku singkat.

“Yah Joon Hwae itu dancer. Jadi aku ingin bisa menari. Mungkin jika aku pandai menari, Joon Hwae akan tertarik padaku. Benar kan Kyong?” Joo Eun tersenyum manis setelah menyelesaikan kalimatnya.

Ku rasakan air mukaku berubah sendu. Dalam dadaku, ku rasakan seperti ada beberapa bilah pisau yang menancap. Ah Tuhan, salahkah aku jika aku menyukai pria yang disukai sahabatku sendiri?

***

Aku memarkirkan motor maticku dengan cepat. Cuaca siang ini sangat panas dan aku sudah tidak tahan dengan sengatan sinar yang dipancarkan oleh bola api terbesar di jagad raya itu. Aku berjalan menuju kursi panjang yang tidak jauh jaraknya dari tempatku berdiri. Lalu, ku tenggak isi botol air mineral yang tersimpan dalam tasku. Aku berhasil menenggak isi botol itu sampai mungkin hanya tersisa ¼ dari isi botolnya.

Ku sandarkan punggungku pada kursi dan perlahan ku usap keringat yang sedari tadi bertengger di pelipisku dengan tangan. Sebenarnya, hari ini aku tidak ada kelas, tapi aku memutuskan untuk datang ke kampus karena aku sangat tidak betah berada di rumah saat ini. Jadi kuputuskan untuk datang ke kampus. Siapa tahu Joo Eun akan mengajakku jalan.

Bukannya Joo Eun yang datang, kulihat malah Joon Hwae yang datang menghampiriku. Sepertinya ia baru saja keluar dari kelasnya. Ia menggunakan celana jeans belel dan kemeja hitam, yang lengannya ditekuk, favoritnya. Tangannya melambai padaku. Lagi-lagi aku bisa melihat dengan jelas tattonya.

“Hay. Kau mau kuliah?” Tanya Joon Hwae saat dia sudah berada tepat di hadapanku. Lalu dengan gerakan cepat dia melempar tubuhnya pada kursi panjang yang juga sedang kududuki.

Aku menggelengkan kepalaku mantap.

“Tidak. Aku hanya sedang bosan di rumah.”

“Ah, kalu begitu kau ikut aku sekarang. Aku ingin bicara sesuatu padamu.” Tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu, seperti biasa, Joon Hwae menarik tanganku dan membuatku menaiki motor sportnya. Entah kemana dia akan membawaku sekarang ini. Aku hanya mengikutinya saja.

***

Aroma khas cappuccino membelai lembut hidungku. Joon hwae membawaku ke sebuah café yang menjual aneka kopi. Kebetulan sekali dia mengajakku ke sini. Seolah dia tau saat ini aku benar-benar ingin minum cappuccino ice.

Sejenak kami berdua hanya saling diam tanpa berbicara satu sama lain. Sungguh aku merasakan canggung sekarang. Tapi aku mencoba untuk bersikap normal. Tak ada alasan bukan untukku canggung? karena dia adalah teman dekatku.

“Aku…”

“Aku..” Aku dan Joon Hwae secara bersamaan ingin mengatakan sesuatu. Lalu kami sama-sama terdiam dan saling pandang. Ah lagi-lagi dia membuatku canggung.

“Apa? Apa yang ingin kau katakana Joon Hwae?” Ku putuskan untuk membiarkan Joon Hwae mengatakannya terlebih dahulu. Sebenarnya yang ingin ku katanyakan padanya adalah apakah dia sedang menyukai seseorang atau tidak karena Joo Eun sangat menyukainya dan aku mendukungnya walaupun hatiku sedikit sakit. Ya, tak apa, hanya sedikit sakit.

“Ah, ini…” Joon Hwae terlihat salah tingkah. Terdapat semburat berwarna merah dari pipinya yang sedikit tembem. Kedua tangannya kini saling terpaut seolah menyembunyikan rasa tegangnya.

“Hmm…??” Aku menunggunya mengucapkan maksudnya. “Ya! Kenapa kau gugup? Bicaralah seperti biasa padaku. Kau kan teman dekatku. Jangan berlagak kita ini baru berkenalan.”

Joon Hwae menjitak jidatku pelan.

“Sabarlah sedikit, Jin Kyong! Aku kan sedang mencoba berbicara.”

Ku usap pelan jidatku seolah jitakan Joon Hwae menimbulkan sakit yang luar biasa walaupun sebenarnya sama sekali tidak sakit. Mana mungkin kan Joon Hwae tega menjitakku dengan keras?

“Itu…” Joon Hwae melanjutkan kalimatnya. “Aku…..Aku menyukaimu.”

Kalimat yang begitu singkat darinya membuatku membulatkan mata dengan segera. Apa katanya tadi? Apa dia mengatakan kalau dia menyukaiku? Ah, apa yang harus kulakukan? Ku rasakan tanganku mulai berkeringat dan jantungku berdegup tak beraturan diluar irama normal.

“Jin Kyong-ah, apa kau mau menjadi pacarku?” Tidak hanya cukup di situ, sekarang Joon Hwae memintaku untuk menjadi pacarnya.

Aku mulai bingung. Apa yang harus ku katakana padanya sekarang? Aku sangat senang mendengar pengakuan darinya tentang perasaannya padaku. Tapi, aku tidak bisa. Sungguh tidak bisa.

“Mian, Joon Hwae………”

***

4 responses to “[Two Shoots] Beautiful Wound 1/2

  1. Bagus kok thor lanjut ya penasaran

  2. Ping-balik: [Two Shoots] Beautiful Wound 2/2 | Angelinblack's Blog

  3. apa yg ada dibenak jin kyong??

  4. Aahhh… Jin young pasti nolak cm gr2 joo eun :((

Tinggalkan komentar