(Part 1) Alive

WeChat Image_20170504195322

Author : Angelinblack

Main Cast : Kim Seokjin (BTS), Park Jiyeon (OC)

Supporting Cast : Kim Taehyung (BTS)

Genre : Romance, Drama

Before Stories : Thinking of You | Breathe

| Prologue |

***

Bunyi dering besi yang berdenting menggaung di penjuru ruangan. Matahari belum lagi menampakkan diri tapi si tuan rumah sudah nampak berdiri memandang keluar jendela. Kedua matanya bahkan terbuka jauh sebelum alarm paginya berbunyi. Tidak, lebih tepatnya ia tidak bisa memejamkannya sejak semalam. Park Jiyeon, gadis itu menghela nafasnya dan menyeret kakinya, mematikan jam wekernya yang berdering sudah lebih dari 10 menit. Di pijitnya pelipisnya yang berdenyut pelan. Sudah 2 tahun ini ia mengalami insomnia, ia tidak bisa pergi tidur tanpa menegak pil dari dokter. Semalam pun ia tergoda untuk mengkonsumsinya, tapi tidak. Sudah 3 hari ini ia bertekad untuk berhenti, meski hasilnya ia hanya mampu memejamkan kedua matanya tak lebih dari 1 jam dari 72 jam yang dilaluinya. Ia merasa lelah, begitu lelah. Tapi otak dan tubuhnya sudah lama saling berpaling, tak sejalan.

Dering notifikasi pesan berbunyi. Ia meraih ponselnya dan menemukan pesan singkat masuk dari Taehyung, menanyakan apakah dirinya bisa beristirahat di flat barunya. Kembali dihela nafasnya, di letakkan ponselnya kembali. Perlahan ia meraih sweater dan tasnya. Memang, masih ada sekitar 3 jam dari waktu masuk kelasnya, tapi ia tak bisa berdiam diri di dalam flatnya sendirian. Setidaknya mungkin berjalan kaki dan melihat pemandangan di sekitar akan membantu kepalanya untuk sedikit rileks.

Angin sepoi musim semi menyambutnya di luar. Cuaca tidak begitu dingin ataupun hangat di awal Maret ini. Di telusurinya jalan setapak mengelilingi gedung apartemennya yang besar. Beberapa orang terlihat bergegas mengendarai mobilnya dengan seragam kantor, bahkan sepagi ini pun Seoul sudah nampak sibuk. Di langkahkan kakinya menuju halte bus terdekat, memutuskan untuk pergi ke kampus dan menghabiskan waktu di café 24 jam di dekat sana menunggu kelasnya mulai. Ya, banyak yang harus di kejarnya mengingat lamanya cuti yang ia ambil.

20 menit berjalan kaki, ia sampai di halte busnya. Beberapa siswa berseragam sekolah pun terlihat tengah menunggu disana. Dirogohnya sakunya mencari kartu busnya. Sedikit merutuk pelan, ia sadar telah meninggalkannya bersama dengan ponselnya di kamar. Kesal, tapi apa yang dapat di perbuatnya. Akhir-akhir ini otaknya memang tidak dapat bekerjasama dengannya. Semakin lama ia bahkan semakin sering melupakan hal-hal kecil seperti ini. Ia berbalik dan kembali berjalan menuju flatnya untuk mengambil kartu bus dan ponselnya. Tidak masalah jika hanya ponselnya yang tertinggal, ia tidak memiliki siapapun yang ingin dihubunginya. Tapi kartu busnya? Ia tidak dapat pergi kemanapun tanpanya.

Langkahnya hampir terseret sesampainya kembali di dalam lift. Ia bahkan lupa menekan tombol lift dan baru menyadarinya setelah 1 menit menunggu lift untuk bergerak. Tidak banyak yang menggunakan lift naik, ia menemukan dirinya sendiri hingga pintu terbuka di lantai 8. Tak ingin membuang waktu ia segera masuk ke dalam flatnya dan mengambil barang-barangnya yang tertinggal. Tak sadar, ia sudah menghabiskan 1 jam dari 3 jam waktu yang bebas yang dimilikinya.

“Jiyeon-ssi?”gadis itu menangkap suara familiar seseorang di telinganya begitu keluar dari flat. Ia berbalik dan mendapati sosok jangkung seseorang berjalan menghampirinya. Senyumnya tersungging begitu mengenalinya. Kim Sukjin, mereka dulu tak sengaja bertemu saat lelaki itu menolongnya. Sudah lama ia tidak mendengar kabarnya, sangat lama. Ia lelaki yang sangat baik.

“Kim Sukjin-ssi. Sudah lama tidak bertemu. Apa kabar?”sahut Jiyeon ramah.

“Ya Tuhan! Ini benar-benar kau! Aku mencari kontakmu dan tak kunjung dapat dan sekarang kau ada disini!”kedua mata lelaki itu membulat lebar. “Jangan bilang kau bahkan tinggal disini?!”

Jiyeon menganggukkan kepalanya. “Ya, aku baru pindah beberapa hari yang lalu”

“Kalau begitu kita bertetangga sekarang”senyum Sukjin tersungging lebar. “Flatku di ujung koridor.”

Jiyeon menganggukkan kepalanya dan berjalan menuju lift bersama dengan lelaki itu. Dalam hati ia sedikit merasa lega ia menemukan seseorang yang dikenalnya tinggal tak jauh darinya, meski hubungan mereka tidak bisa dikatakan begitu dekat. Selain Yoongi, ia hanya mengenal Taehyung. Tapi, jarak flat barunya terlalu jauh dari tempat tinggal laki-laki itu. Juga, Taehyung kini sibuk dengan pekerjaan barunya. Rasanya tidak adil jika ia menyita waktu lelaki itu begitu banyak.

“Jadi, sibuk apa akhir-akhir ini?”sahut Sukjin kemudian memecah keheningan.

“Aku ingin menyelesaikan kuliahku”. Lift berhenti di lantai 6 dan beberapa orang menyerbu masuk, membuatnya melangkah mundur memberi jarak. Dirasakan lengannya di raih dan dirinya ditarik pelan menuju sudut lift yang sedikit longgar. Lelaki itu bertukar posisi dengannya dan membiarkannya bersandar di dinding lift. “Terimakasih”sahutnya kemudian yang hanya di balas senyum manis lelaki itu.

Sukjin membungkukkan badannya pelan mendekatkan wajahnya ke sisi kepala Jiyeon. Tidak begitu dekat, tapi cukup untuk berbisik. “Lift selalu penuh di jam-jam seperti ini”

Jiyeon mengedarkan pandangannya melihat seluruh penumpang lift yang memakai seragam atau baju kantoran rapih. Tentu saja, ini sudah mendekati jam padat berangkat ke kantor sehingga pasti banyak orang tengah buru-buru meninggalkan tempat tinggal sekarang ini. Ia beralih menatap Sukjin, laki-laki itu tidak kalah rapih dengan yang lain. Ia memakai kemeja biru langit dan menenteng blazer keabuan di lengannya. “Kau juga akan berangkat bekerja?”tanyanya kemudian.

Sukjin mengangkat kedua bahunya. “Kurasa. Tapi waktuku lebih fleksible, kurasa aku ingin mencari sarapan dulu. Jam berapa kelasmu mulai?”

“8”jawab Jiyeon kemudian.

Sukjin memutar pergelangannya dan menatap Rolex Day-Date President berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangannya. “Masih sekitar 2 jam lagi. Mau bergabung denganku untuk sarapan?”

Jiyeon menatap Sukjin sesaat. Sebenarnya ia sangat ingin sendiri sekarang ini, ia ingin berjalan dan membiarkan dirinya tenggelam dalam pikirannya yang ia sendiri tak paham sedang sibuk dengan apa. Tapi hatinya berkata lain. Tidak, sudah cukup lama ia mengurungkan diri untuk berinteraksi dengan orang lain. Jika memang ia ingin menata hidupnya kembali, ia tidak boleh menuruti kepalanya. Tidak.

“Bagaimana?”Sukjin melambaikan tangan tepat di depan wajahnya, membuatnya tersadar dari lamunannya. “Jika kau ada urusan lain, tidak apa”

“Tidak”Jiyeon menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Aku pun belum sarapan, jadi aku akan ikut”sahutnya yang membuat senyum Sukjin kembali tergurat.

“Baiklah. Tunggulah di depan, akan ku ambil mobilku!”

Jiyeon menganggukkan kepalanya. Ia terus mengulang dalam hati bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa dirinya akan baik-baik saja.

***

Langit gelap sempurna, membuat cahaya dari gedung-gedung percakar langit kian benderang. Jiyeon melangkahkan kakinya gontai, jarum sudah berubah bergerak mendekati angka 8. Memang kelasnya sudah selesai sejak 6 jam lalu, tapi dirinya tak ingin buru-buru pulang. Ia ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin, tenaga sebanyak mungkin sebelum kembali dengan harapan akan mempermudahnya untuk istirahat. Diletakkannya tasnya sembarang sebelum akhirnya meraih botol air mineral dari dalam kulkas. Perutnya meronta, satu-satunya yang masuk ke dalam perutnya hari ini hanyalah angin.

Gadis itu memejamkan kedua matanya berat, tiba-tiba saja kepalanya serasa tertusuk. Tubuhnya merosot lemah, kehilangan tumpuan dari kedua kakinya. Jantungnya bergemuruh kencang, membuat nafasnya terasa berat. Gemetaran, di rogohnya ponselnya dari dalan saku jaketnya bermaksud mencari bantuan dari kontak yang tersimpan. Ia sadar dengan sangat, cepat atau lambat kesadarannya akan hilang. Di sentuhnya layarnya pelan pada notifikasi pesan masuk. Pandangannya terlalu buram untuk sekedar melihat nama kontak dan isi pesannya. Merasakan kedua matanya kini mulai berputar di sentuhnya profil kontak tersebut, membuat nada sambungan berbunyi dari ponsel. Perutnya terasa mual, seolah seluruh isinya mendesak keluar dari tenggorokannya. Ia terjatuh ke lantai dan membentur sisi kepalanya. Dahinya berkerut, sebisa mungkin menahan kesadarannya untuk tidak pergi meninggalkannya. Tak lama, suara berat seseorang menyahut dari ponselnya.

“Jiyeon-ssi?”

“Bi.. Bisakah kau datang?”Jiyeon mendorong keluar suaranya sekuat tenaga, meskipun hanya lirihan kecil yang terdengar. Ya, ini mengenali suara di seberangnya sebagai milik tetangga flatnya, Kim Sukjin.

“Hei? Ada apa?! Kenapa suaramu seperti ini?!”suara Sukjin berubah khawatir.

“Kumohon…”Jiyeon mengeluh pelan merasakan tubuhnya mulai menggigil.

“Hey?! Hey! Aku kesana, oke?! Kau baik-baik saja?! Berapa nomor sandi flat-mu?”sahut Sukjin kemudian, suara nafasnya terdengar memburu.

Jiyeon mengernyit pelan, menahan rasa sakit yang merambat ke seluruh tubuhnya. “09…”suaranya semakin melemah. “0393…”nafasnya berhembus pelan sebelum akhirnya dirinya tertarik dalam tidur yang panjang. Hening dan tenang. 9 Maret 1993.

***

Seberkas cahaya menusuk, berusaha menembus ke dalam retina gadis yang tengah terbaring lemah di atas dipan bangsal unit gawat darurat. Kedua kelopak matanya bergetar, mencoba terbuka, membiaskan cahaya melalui sela-sela helaian bulu matanya. Gadis itu mengernyit pelan, mengerjapkan kedua matanya sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Kedua bola matanya bergerak mencoba menangkap pemandangan di sekitarnya dan meneruskannya ke dalam otaknya untuk dicerna. Ia mengeluh pelan, menggerakkan jemarinya yang terasa kebas. Telinganya berdengung pelan, membiasakan diri dengan suara-suara yang bergaung di dalamnya. Ia merasakan sebuah sentuhan di punggung tangannya dan wajah seseorang muncul memenuhi pandangannya.

“Hei…”.

Butuh beberapa waktu bagi otaknya untuk bekerja kembali mengenali si pemilik wajah tersebut. Kim Sukjin.

“Kau baik-baik saja?”lelaki itu terlihat khawatir.

Jiyeon memaksakan sudut bibirnya melengkungkan senyum. “Lebih baik”suaranya terdengar begitu serak dan parau. “Terimakasih…”

Sukjin menghela nafasnya lega. “Syukurlah”perlahan dibantunya gadis dihadapannya itu duduk. Ia memang terlihat lebih baik meski ia dapat merasakan dinginnya tangan gadis itu dalam genggamannya.

“Kenapa selalu kau yang muncul saat aku tak sadarkan diri”Jiyeon mencoba bercanda, mencairkan suasana. Wajahnya yang sepucat lilin terlihat sayu dengan kedua matanya yang membentuk garis senyuman. “Apa aku boleh pulang?”

“Akan kutanyakan pada dokter jaga”sahut Sukjin kemudian. Jauh di dalam hatinya, ia sebenarnya ingin meminta gadis itu untuk tinggal semalam lagi hingga wajahnya terlihat lebih baik dan segar. Tapi entah mengapa, sorot mata gadis itu seperti tengah memohon padanya untuk membawanya pergi. Enggan, ia beranjak dari kursinya berdiri. Teringat sesuatu, ia merogoh saku celananya dan menyerahkan ponsel gadis itu yang di simpannya semalaman. “Ponselmu berdering sedari pagi.”ujarnya sebelum akhirnya pergi. “Tidak akan sopan bagiku untuk menjawabnya jadi…”

“Tidak apa..”sahut Jiyeon kemudian. Di raihnya ponselnya dan tersenyum. “Lain kali, kau boleh menjawab telfonku.”sahutnya kemudian. Ya, tidak akan ada yang menghubunginya selain keluarganya dan beberapa temannya yang tersisa. Di usapnya layar ponselnya yang sengaja tak di lindungi kata sandi. Kontak Taehyung muncul dalam pemberitahuan panggilan tak terjawab paling atas. Lelaki itu sudah menghubungi setidaknya 12 kali dari semalam. Ia baru akan menelfon kembali lelaki itu tepat saat ponselnya berdering tiba-tiba. Lelaki itu menelfonnya kembali.

“Tae-ya”sahutnya lemas. Ia mendengar desahan nafas berat dari lawan bicaranya.

“Ya! Kenapa kau baru menjawab telfonku? Kau ada dimana?! Aku berada di flatmu dan tak menemukan siapapun, eo?!”sederet omelan meluncur dari lelaki itu. Jelas sekali ia begitu khawatir sekarang ini.

“Aku di rumah sakit”Jiyeon menghela nafasnya. Di jauhkannya ponselnya dari telinga saat Sukjin kembali menghampirinya, membebaskannya dari deretan omelnya dan pertanyaan yang dilayangkan Taehyung dari seberang telfon.

“Kau boleh pulang. Ada beberapa vitamin dan obat yang harus ditebus.”lelaki itu menghela nafasnya dan menatap gadis di hadapannya cemas. “Kau yakin ingin pulang? Kau bisa beristirahat semalam lagi, kurasa itu akan lebih baik”

Jiyeon kembali menyunggingkan senyumnya. Terlepas dari kepalanya yang masih berdenyut dan nafasnya yang masih terasa berat, ia ingin meyakinkan Sukjin bahwa dirinya baik-baik saja. “Aku bisa beristirahat di flat. Aku baik-baik saja”sahutnya, membuat Sukjin mengalah.

“Tunggulah, akan ku urus administrasi dan lainnya”ia menepuk pelan lengan gadis itu sebelum akhirnya kembali beranjak pergi.

Jiyeon menghela nafasnya berat dan kembali menempelkan ponselnya ke telinga. “Aku akan pulang sebentar lagi”

“Kau baik-baik saja? Kau bersama seseorang?”tanya Taehyung kemudian.

“Aku sungguh tidak memiliki tenaga untuk menceritakan semua padamu sekarang ini. Tunggulah aku di rumah, eo!”

“Eo! O-Okay”

***

Jiyeon menghempaskan tubuhnya di atas sofa, setelah berhasil meyakinkan Taehyung untuk meninggalkannya sendiri. Di pejamkan kedua matanya pelan, kepalanya masih terasa berputar. Ya, ia sedikit menyantap biscuit yang di bawa Taehyung tadi, tapi selera makannya hilang pada gigitan pertama. Ia hanya ingin berbaring dan beristirahat hingga kepalanya berhenti berputar. Terpikir dalam benaknnya untuk menegak beberapa obat tidur yang dimilikinya. Ya, ia memang bertekad ingin melepas ketergantungannya ada obat itu, tapi ia pun ingin sekali dapat memejamkan kedua matanya dengan tenang sekarang ini.

Bel pintunya berbunyi, membuatnya mengeluh pelan dan bangkit berjalan membukakan pintu. Ia berharap tidak akan menemukan sosok Taehyung di depan pintu, mengingat betapa lelaki itu pun sama keras kepalanya dengan Yoongi. Langkahnya terhenti, hatinya serasa tersayat mengingat nama lelaki itu muncul dalam pikirannya. Dipejamkan kedua matanya dan sepasang sorot mata muncul dalam benaknya. Mata yang sangat tajam namun terasa hangat saat kau terus memandanganya. Dingin, namun terasa sayu di saat yang bersamaan. Mata yang….

Bel pintunya kembali berbunyi, menyadarkannya dari buaian semu yang otaknya kembali mainkan. Menarik nafas dalam-dalam ia kembali melangkah gontai membukakan pintu dan mendapati senyum hangat seseorang tersungging padanya. Lelaki bertubuh tinggi dengan rambut hazelnut halus dan mata yang berkilauan. Lelaki yang sudah 2 kali menyelamatkan hidupnya. Tetangganya, Kim Sukjin.

“Maaf, kau pasti ingin istirahat, tapi kurasa kau tidak akan sanggup menyiapkan makanan untuk dirimu sendiri”sahutnya kemudian. Jiyeon mengerling pelan dan baru menyadari tas belanja yang di tenteng lelaki itu di kedua tangannya. Sejujurnya ia ingin sendiri sekarang ini, tapi mengingat betapa lelaki itu telah menolongnya ia tidak mungkin menolaknya. Dipersilahkannya Sukjin masuk ke dalam flatnya yang bisa di katakan kosong. Tidak seperti dulu, ia tidak memiliki semangat untuk mendekorasi atau sedikit mempercantik tempat tinggalnya. Ya, ia sudah lama kehilangan motivasi untuk melakukan apapun.

Sukjin meletakkan tas belanjanya di dapur dan menggulung kedua lengan kaosnya sebatas siku. Senyumnya tersungging mendapati Jiyeon yang duduk di depan meja bar kecilnya sembari menopang dagunya, menatapnya. Gadis itu memberitahunya letak setiap alat yang di butuhkannya sembari memindahkan dagunya ke atas meja lemas. Dapat dilihatnya dari lengkapnya alat masak yang dimilikinya, gadis ini memiliki minat yang tinggi terhadap hal satu ini. Tapi begitu di sentuhnya, ia pun segera menyadari betapa lamanya alat-alat ini tak pernah digunakan. Beberapa goresannya terasa tua.

“Kau bisa memasak?”tanya Jiyeon kemudian, membuat yang di tanya kembali menyunggingkan senyumnya.

“Pernah belajar”sahut Sukjin kemudian sembari menjajarkan bumbu-bumbu yang baru di belinya. Di keluarkannya beberapa bahan makanan, sementara sisanya ia berniat untuk menyimpannya di kulkas. Dan benar saja, kulkas gadis itu sama sekali kosong. Hanya ada beberapa botol air mineral tersimpan di dalamnya. “Akan kukirim beberapa lauk nanti. Aku punya sekotak kimchi dan japchae di kulkas”

“Terimakasih”. Jiyeon menatap Sukjin bingung. Jujur, kehadiran lelaki itu mampu mengalihkan dirinya dari depresi yang mungkin sudah melandanya sekarang ini jika ia ditinggal sendiri. Tapi, lelaki itu terlalu baik, membuatnya berfikir kenapa ia bisa bersikap seperti ini padanya. “Aku terlalu banyak merepotkanmu. Aku…”

Sukjin mengalihkan pandangannya, menatap gadis di hadapannya yang benar-benar payah dalam menyembunyikan perasaannya. Terlihat sekali gadis itu tengah terlihat bingung dan sedikit gugup dengan situasi yang ada. Ia sendiri paham bahwa mereka bukanlah dua orang yang telah saling lama mengenal untuk saling membantu dan memperhatikan satu sama lain seperti ini. Tapi, ia pun tak bisa menjelaskannya, kenapa dirinya begitu peduli padanya. Gadis itu terlihat rapuh dan dia ingin melindunginya.

“Aku memiliki sertifikat dari Ballymaloe”sahut Sukjin kemudian, mencoba mengalihkan pikiran gadis itu. Ia mengasah pisaunya pelan sebelum mulai memotong bawang dan kentang yang ada di hadapannya. Perlahan di liriknya Jiyeon yang kini memberinya tatapan hampa. Tertawa pelan, ia mengerti bahwa gadis itu sama sekali tidak tahu apapun dari yang baru di katakannya. “Ballymaloe Cookery School, Irlandia”jelasnya kemudian.

“Ja-Jadi kau seorang chef?”tanya Jiyeon kemudian. Sebelah tangannya meraih ponselnya dan segera mencari Ballymaloe di google.

Sukjin mengangkat kedua bahunya. “Bisa jadi. Tapi aku tidak benar-benar memasak, hanya untuk pengetahuan saja karena bisnisku dalam bidang yang berkaitan”

“Wow”kedua mata Jiyeon yang semula sayu membulat lebat. Decak kagumnya tak terbendung melihat betapa lihainya lelaki dihadapannya menggunakan pisau dan alat-alat dapur miliknya. Dan terlepas dari banyaknya bahan yang digunakannya, dapurnya tidak terlihat kotor sedikitpun. Ia sendiri memiliki hobi memasak, akan tetapi semuanya hanya di pelajarinya secara otodidak dan untuk di garis bawahi ia sama sekali tidak pernah memasak sesuai resep. Sungguh jauh dibandingkan dengan apa yang di lakukan Sukjin di hadapannya sekarang ini. Gaya memasak lelaki itu jauh lebih elegan dan mewah.

“Datanglah ke flat-ku lain kali. Akan ku masakan sesuatu yang lezat untukmu”sahutnya kemudian.

“Bukankah kau sedang memasak sesuatu yang lezat juga sekarang ini?”. Jiyeon tertawa pelan. Untuk sepersekian detik ia tidak menyadarinya, bahwa hatinya kini terasa sedikit hangat. Gadis itu terdiam sejenak, merasa canggung mendapati dirinya kembali terlibat dalam obrolan ringan dengan seseorang. Ditatapnya kembali Sukjin yang sibuk memainkan penggorengannya dalam diam. Bahkan dengan Taehyung pun hatinya sering kali serasa tertekan bersamanya. Mungkin karena lelaki itu sedikit-banyak membuatnya kembali mengingat Yoongi. Tapi Sukjin, tidak. Lelaki itu sama sekali tidak memiliki jejak dalam memorinya tentang Yoongi. Karena itulah, setidaknya, menghabiskan waktu bersamanya tidak terasa menyakitkan.

Sukjin mengalihkan pandangannya dari penggorengannya dan menatap Jiyeon. Gadis itu tengah merebahkan kepalanya di atas meja dan terlihat tengah melamun. Perlahan, di lambaikan tangannya di depan wajah gadis itu mencoba menarik perhatiannya kembali. “Hei? Kau baik-baik saja?”sahutnya kemudian, membuat gadis itu mengerjapkan kedua matanya kaget.

“Eo?!”Jiyeon membalas tatapan khawatir Sukjin. Untuk sepersekian detik mereka bertukar tatap, sampai akhirnya gadis itu perlahan menyunggingkan senyumnya. “Aku baik-baik saja”sahutnya kemudian.

Sukjin menganggukkan kepalanya dan kembali meneruskan kegiatan memasaknya, ia mulai menceritakan kisah lucu bermaksud untuk menghangatkan suasana. Jiyeon tertawa pelan. Sejujurnya, kata-kata yang keluar dari Sukjin berlalu begitu saja dari melalui kedua telinganya. Hanya, lelaki itu terlalu baik padanya hingga ia tidak ingin mengecewakannya. Ya, ia menyadarinya, bahwa keadaannya sudah memberikan banyak kesulitan bagi orang-orang disekitarnya. Kedua orang tuanya, kakaknya, Taehyung, mereka tak hentinya mengkhawatirkan keadaannya. Karena itu, ia harus menyimpannya untuk dirinya sendiri. Hatinya adalah masalahnya. Ia harus terlihat baik-baik saja, setidaknya di depan orang-orang yang menyayanginya.

Tinggalkan komentar